A. Pengertian Demokrasi dan Islam
Demokrasi secara etimologis terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat “cratein” atau “cratus” yang berarti kekuasan dan kedudukan jadi secara istilah demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Adapun beberapa pendapat tentang demokrasi yaitu sebagai berikut:
1) Menurut Joseph A Schmeter menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suatu rakyat.
2) Henry B. Mayo menyatakan demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dalam diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Islam menurut bahasa adalah undang-undang atau adab dan sistem hidup (Q.S. 9 Ayat 33)
Artinya : Dialah yang telah mengutus rasulnya dan membawa petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan atas segala agama, walaupun orang musyrik tidak menyukai.
Sedangkan menurut istilah Islam adalah peraturan bersumber dari Allah. Mentauhidkan diri kepada Allah karena dengan mengenal Islam kita akan lebih dekat kepada Allah.
Demokrasi Islam adalah ideologi politik yang bertujuan untuk menerapkan prinsip-prinsip agama Islam ke dalam kebijakan publik. Ideologi ini muncul pada awal perjuangan pembebasan atas daerah di mandat Britania atas Palestina kemudian menyebar akan tetapi di sejumlah negara-negara dalam pratiknya telah mencair dengan gerakan sekularisasi.
Islam dan demokrasi tentu saja tidak bisa lepas dari panggung pergulatan politik, negara, kekuasaan, dan pemerintahan di satu sisi, serta relasi antara Islam dengan entitas lain di luar Islam, pada sisi yang lain. Islam yang dimaksudkan bukanlah sebuah basis nilai dan ajaran yang sama dan tunggal. Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari ekspresi para pemeluknya. Justeru karena Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari ekspresi para pemeluknya, maka Islam pun sudah pasti berwajah banyak. Jika Islam berwajah banyak, maka ekspresi politik Islam pun, tentu saja, amat beragam. Islam kadang sejalan dengan demokrasi, tapi kadang juga berseberangan. Setidaknya, inilah poin penting dan pelajaran yang bisa kita ambil setelah menelaah buku-buku yang temanya saling bersentuhan, meskipun tidak bisa dikatakan sama persis alur bercerita dan isinya.
Berdasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh John L. Esposito dan James P. Piscatory (Sukrav Kamil, 2002) secara umum dikelompokkan dalam 3 kelompok pemikiran (Mun’in A. Sirry, 2002).
- Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinirkan dengan demokrasi Islam merupakan sistem politik yang self-sufficient. Hubungan keduanya bersifat mutually exclusive. Islam dipandang sebagai sistem dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai konsep barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Sementara Islam sebagai agama yang khaffah (sempurna) yang tidak sesuai mengatur persoalan teoligi (akidah), dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia (tokohnya yaitu; syeikh Fadhillah Nun, Sayyid Qutb).
- Islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi didefinisikan secara procedural seperti dipahami dan dipraktikkan di negara-negara maju (barat) sedangkan Islam merupakan sistem politik demokratis klo demokrasi didefinisikan secara subtantif yakni kedaulatan ditangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dan kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian dalam pandangan kelompok ini demokrasi adalah konsep yang sejalan
dengan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri (tokohnya yaitu al-maududi, di Indonesia diwakili oleh Moh. Natsir dan Jalaluddin Rahmat).
- Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan negara-negara maju. Di Indonesia, pandangan yang ketiga tampaknya yang lebih dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan negara-negara muslim lainnya (R. William Liddle dan Saiful Mujani, 2000) tokohnya yaitu Amien Rais, Munawie Syadzali
B. Perkembangan Demokrasi Di Dunia Islam
Ada beberapa alasan teoritis yang bisa menjelaskan tentang lambatnya pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia Islam.
1. Pemahaman doctrinal menghambat praktek demokrasi, teori ini dikembangkan oleh Ellie Khudourie bahwa “Gagasan demokrasi masih cukup asing dalam mind-set Islam”. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum muslim yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam, untuk mengatasi hal ini perlu dikembangkan upaya liberalisasi pemahaman keagamaan dalam rangka mencari konsensus dan sistentis antara pemahaman doktrin Islam dengan teori-teori modern seperti demokrasi dan kebebasan.
2. Persoalan kultur. Persoalan kultur politik ditenggarai yang paling bertanggung jawab kenapa sulit membangun demokrasi di negara-negara muslim, termasuk Indonesia. sebab, ditilik secara doctrinal, pada dasarnya hampir tidak dijumpai hambatan teologis dikalangan tokoh-tokoh partai, ormas ataupun gerakan Islam yang memperhadapkan demokrasi Vis a vis Islam, bahkan ada kecenderungan untuk menambah tugas (misi) baru yaitu merekonsiliasi perbedaan-perbedaan antara berbagai teori politik modern dengan doktrin Islam. Islam dan demokrasi seharusnya berpikir bagaimana keduanya saling memperkuat (mutually reinforeing)
3. Lambatnya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungan dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran dan diatas segalanya adalah waktu. Jhon Esposito dan O. Voll adalah tokoh yang tetap optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam. Terlepas dari itu semua, tak diragukan lagi, pengalaman empirik demokrasi dalam sejarah Islam memang sangat terbatas. Dengan menggunakan parameter yang sangat sederhana, pengalaman empirik demokrasi hanya bisa ditemukan selama pemerintahan Rasulullah sendiri dan masa para sahabatnya.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar